Semakin Berkembangnya Masalah Obesitas di Indonesia (Obesity, a growing problem in the nation)
The Jakarta Post, Kamis, 05 April 2012
|
Meskipun telah berhasil
mengatasi masalah kekurangan gizi, Indonesia masih harus menghadapi
masalah obesitas, yang memerlukan biaya kesehatan yang tinggi akibat
adanya gangguan kesehatan dan berbagai penyakit non infeksi lainnya.
Dulu obesitas hanya dianggap sebagai masalah yang terjadi di negara-negara maju, namun sekarang obesitas telah meluas sampai ke negara-negara berpendapatan rendah dan menengah termasuk Indonesia, menurut Roger Shrimpton, seorang konsultan gizi di Bank Dunia.
"Dalam sebuah keluarga, Anda bisa melihat semakin banyak orang yang mengalami kelebihan berat badan. Hal ini menjadi sebuah tren," katanya.
Data dari Riset Kesehatan Dasar 2010 (Riskesdas) menunjukkan bahwa persentase jumlah orang yang mengalami kelebihan berat badan usia 18 tahun ke atas dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih besar dari 27 mencapai 21,7 persen. Data yang sama menunjukkan bahwa obesitas di kalangan anak-anak usia 5 tahun ke bawah meningkat menjadi 14 persen dari 11 persen pada tahun 2007.
"Anak-anak tumbuh semakin gemuk," kata Shrimpton, seorang profesor di Tulane University, Amerika Serikat.
"Di kalangan masyarakat Indonesia obesitas masih merupakan masalah yang tidak bisa disembunyikan. Dengan tingkat index massa tubuh yang sama, Indonesia memiliki tingkat lemak tubuh dua kali lipat. Hal ini merupakan masalah metabolisme," kata Shrimpton.
Malnutrisi beban ganda, diperkenalkan sebagai konsep baru pada tahun 2000, membenarkan bahwa sebagian besar negara harus menghadapi kasus kekurangan dan kelebihan gizi, yang dapat mempengaruhi siklus hidup seseorang dalam sebuah populasi yang sama.
Gizi buruk pada awal usia kehidupan akan meningkatkan risiko kelebihan gizi di kemudian hari. Anak-anak yang mendapat gizi buruk saat awal usia kehidupannya akan lebih rentan terhadap penyakit menular, yang dapat mengakibatkan kematian.
Meskipun dapat bertahan hidup, mereka memiliki daya tahan tubuh yang kurang dalam melawan penyakit, baik untuk melakukan pekerjaan fisik, ataupun dalam meraih prestasi di sekolah.
Orang yang berat badannya berlebih memiliki risiko menderita penyakit tidak menular lebih tinggi, termasuk darah tinggi, stroke, kanker dan gagal jantung.
Soekirman, ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan awalnya penyakit tidak menular hanya dianggap sebagai masalah yang sering terjadi di negara-negara maju dan berkembang.
"Masalah ini tidak hanya terjadi di negara maju, tapi juga di negara-negara berkembang," katanya.
Dengan pendapatan per kapita lebih dari US$ 2.000, Indonesia - termasuk mereka yang berasal dari kelompok rumah tangga berpenghasilan rendah, saat ini memiliki daya beli yang lebih besar terhadap makanan, namun kurang pengetahuan tentang makan sehat.
"Mereka tidak menyadari bahwa obesitas merupakan masalah yang berkelanjutan. Dimulai dengan gizi buruk dan diikuti dengan masalah lain, seperti pertumbuhan terhambat, obesitas dan penyakit tidak menular," kata Soekirman.
Kurangnya olahraga semakin memperburuk masalah.
Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa 70 persen anak usia 10-14 tahun kurang berolahraga. Studi lain menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia menghabiskan lebih dari 26 jam seminggu hanya untuk menonton televisi, rata-rata hampir empat jam sehari.
"Mereka menghabiskan lebih banyak waktu di depan televisi daripada di ruang kelas," kata Schrimpton, menambahkan bahwa sebagian besar makanan berbasis pangan yang dipromosikan di televisi bertentangan dengan pedoman diet yang ada.
Endang L. Achadi, ahli gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, mengatakan campur tangan yang tepat pada ibu yang kekurangan gizi adalah kunci untuk mencegah malnutrisi beban ganda.
"Tingkat pertumbuhan terhambat pada anak-anak di Indonesia sangat tinggi dan ini disebabkan oleh kurangnya gizi ibu baik sebelum dan selama kehamilan," katanya, menambahkan bahwa keadaan ibu yang kekurangan gizi, terutama di kalangan kaum miskin, jauh lebih mendesak daripada gaya hidup yang berhubungan dengan masalah gizi.
Dalam mendefinisikan obesitas, Riskesdas tahun 2010 menyatakan bahwa orang dewasa dikategorikan menderita obesitas jika mereka memiliki IMT sama atau lebih besar dari 27.
Namun, Perhimpunan Studi Obesitas Indonesia dan beberapa ahli menyarankan agar ambang batas IMT masyarakat Indonesia untuk dikategorikan sebagai obesitas harusnya sebesar 25. Shrimpton mengatakan bahwa penetapan batas “kelebihan berat badan” oleh Riskesdas sebesar 25 adalah tepat. "Penetapan ambang batas yang digunakan dalam Riskesdas mungkin saja salah atau terlalu meremehkan masalah obesitas di Indonesia. Mungkin angka itu seharusnya 23," katanya.
Mengutip Riskesdas tahun 2010, ia mengatakan bahwa hanya 1,4 persen kelompok usia 16-18 tahun yang mengalami obesitas, tetapi secara mengejutkan pada kelompok usia 18 tahun ke atas angka ini bisa mencapai 21,7 persen. "Jadi, ambang batasnya jelas tidak tepat," katanya.
Sebuah penelitian terbaru menyarankan agar nilai IMT yang menunjukkan kelebihan berat badan seseorang di kawasan Asia-Pasifik harus sama atau lebih besar dari 21. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun mereka memiliki IMT yang sama, orang Asia cenderung memiliki tingkat lemak dua kali lipat.
Dulu obesitas hanya dianggap sebagai masalah yang terjadi di negara-negara maju, namun sekarang obesitas telah meluas sampai ke negara-negara berpendapatan rendah dan menengah termasuk Indonesia, menurut Roger Shrimpton, seorang konsultan gizi di Bank Dunia.
"Dalam sebuah keluarga, Anda bisa melihat semakin banyak orang yang mengalami kelebihan berat badan. Hal ini menjadi sebuah tren," katanya.
Data dari Riset Kesehatan Dasar 2010 (Riskesdas) menunjukkan bahwa persentase jumlah orang yang mengalami kelebihan berat badan usia 18 tahun ke atas dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih besar dari 27 mencapai 21,7 persen. Data yang sama menunjukkan bahwa obesitas di kalangan anak-anak usia 5 tahun ke bawah meningkat menjadi 14 persen dari 11 persen pada tahun 2007.
"Anak-anak tumbuh semakin gemuk," kata Shrimpton, seorang profesor di Tulane University, Amerika Serikat.
"Di kalangan masyarakat Indonesia obesitas masih merupakan masalah yang tidak bisa disembunyikan. Dengan tingkat index massa tubuh yang sama, Indonesia memiliki tingkat lemak tubuh dua kali lipat. Hal ini merupakan masalah metabolisme," kata Shrimpton.
Malnutrisi beban ganda, diperkenalkan sebagai konsep baru pada tahun 2000, membenarkan bahwa sebagian besar negara harus menghadapi kasus kekurangan dan kelebihan gizi, yang dapat mempengaruhi siklus hidup seseorang dalam sebuah populasi yang sama.
Gizi buruk pada awal usia kehidupan akan meningkatkan risiko kelebihan gizi di kemudian hari. Anak-anak yang mendapat gizi buruk saat awal usia kehidupannya akan lebih rentan terhadap penyakit menular, yang dapat mengakibatkan kematian.
Meskipun dapat bertahan hidup, mereka memiliki daya tahan tubuh yang kurang dalam melawan penyakit, baik untuk melakukan pekerjaan fisik, ataupun dalam meraih prestasi di sekolah.
Orang yang berat badannya berlebih memiliki risiko menderita penyakit tidak menular lebih tinggi, termasuk darah tinggi, stroke, kanker dan gagal jantung.
Soekirman, ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan awalnya penyakit tidak menular hanya dianggap sebagai masalah yang sering terjadi di negara-negara maju dan berkembang.
"Masalah ini tidak hanya terjadi di negara maju, tapi juga di negara-negara berkembang," katanya.
Dengan pendapatan per kapita lebih dari US$ 2.000, Indonesia - termasuk mereka yang berasal dari kelompok rumah tangga berpenghasilan rendah, saat ini memiliki daya beli yang lebih besar terhadap makanan, namun kurang pengetahuan tentang makan sehat.
"Mereka tidak menyadari bahwa obesitas merupakan masalah yang berkelanjutan. Dimulai dengan gizi buruk dan diikuti dengan masalah lain, seperti pertumbuhan terhambat, obesitas dan penyakit tidak menular," kata Soekirman.
Kurangnya olahraga semakin memperburuk masalah.
Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa 70 persen anak usia 10-14 tahun kurang berolahraga. Studi lain menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia menghabiskan lebih dari 26 jam seminggu hanya untuk menonton televisi, rata-rata hampir empat jam sehari.
"Mereka menghabiskan lebih banyak waktu di depan televisi daripada di ruang kelas," kata Schrimpton, menambahkan bahwa sebagian besar makanan berbasis pangan yang dipromosikan di televisi bertentangan dengan pedoman diet yang ada.
Endang L. Achadi, ahli gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, mengatakan campur tangan yang tepat pada ibu yang kekurangan gizi adalah kunci untuk mencegah malnutrisi beban ganda.
"Tingkat pertumbuhan terhambat pada anak-anak di Indonesia sangat tinggi dan ini disebabkan oleh kurangnya gizi ibu baik sebelum dan selama kehamilan," katanya, menambahkan bahwa keadaan ibu yang kekurangan gizi, terutama di kalangan kaum miskin, jauh lebih mendesak daripada gaya hidup yang berhubungan dengan masalah gizi.
Dalam mendefinisikan obesitas, Riskesdas tahun 2010 menyatakan bahwa orang dewasa dikategorikan menderita obesitas jika mereka memiliki IMT sama atau lebih besar dari 27.
Namun, Perhimpunan Studi Obesitas Indonesia dan beberapa ahli menyarankan agar ambang batas IMT masyarakat Indonesia untuk dikategorikan sebagai obesitas harusnya sebesar 25. Shrimpton mengatakan bahwa penetapan batas “kelebihan berat badan” oleh Riskesdas sebesar 25 adalah tepat. "Penetapan ambang batas yang digunakan dalam Riskesdas mungkin saja salah atau terlalu meremehkan masalah obesitas di Indonesia. Mungkin angka itu seharusnya 23," katanya.
Mengutip Riskesdas tahun 2010, ia mengatakan bahwa hanya 1,4 persen kelompok usia 16-18 tahun yang mengalami obesitas, tetapi secara mengejutkan pada kelompok usia 18 tahun ke atas angka ini bisa mencapai 21,7 persen. "Jadi, ambang batasnya jelas tidak tepat," katanya.
Sebuah penelitian terbaru menyarankan agar nilai IMT yang menunjukkan kelebihan berat badan seseorang di kawasan Asia-Pasifik harus sama atau lebih besar dari 21. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun mereka memiliki IMT yang sama, orang Asia cenderung memiliki tingkat lemak dua kali lipat.