Nama Jaury Menurut penuturan ibunya, Elly Jusuf- Saelan, adalah dari angkatan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia). Sewaktu ia lahir, memang sang ayah kolonel M. Jusuf sedang sibuk- sibuknya berurusan dengan aparat AURI (Sekarang TNI- AU) dipangkalan udara Mandai. Karena hubungannya yang erat itulah maka kata AURI ditambah “J” didepannya (dari “J” nama Jusuf), dan huruf “I” dibelakang diganti dengan “Y” (dari “Y” nya Elly) menjadi namanya. Tetapi nama lengkapnya adalah Muhammad Jaury Thaufiek Jusuf Putra.
Jaury tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas dan tentu saja khas nakal anak kecil. Karena pengaruh ayahnya yang mula- mula adalah kepala Staf Kodam Hasanuddin, dan kemudian menjadi Pangdam XIV, idolanya tentu saja adalah tentara seperti sang ayah. Dan malahan kenakalannya menurut orang- orang yang mengetahui, tidak beda jauh dengan ayahnya sewaktu kecil dahulu.
Menjadi anak satu- satunya, tentu saja berarti pula menjadi perhatian satu-satunya keluarga yang tinggal di rumah pojok jalan Sungai Tangka, Ujungpandang itu. Tetapi ia tidak menjadi manja walaupun boleh dikata Jusuf sebagai Pangdam dan sekaligus Panglima Pelaksana Daerah, praktis adalah orang yang paling berkuasa di wilayah Sulawesi Selatan dan tenggara.
Sang ayah, dengan singkat melukiskan mengenai anaknya : “Jaury sejak lahir hingga usia” cukup besar tidak pernah sakit. Sering kali, pagi hari setelah sembahyang subuh, ia berdiri didepan jendela berangin- angin lama disitu.
Walaupun Jusuf adalah Pangdam, tetapi tidak pernah ada rumah jaga atau penjagaan tentara dalam bentuk apapun dirumahnya. Apabila ada tamu atau orang yang hendak bertemu dengannya, maka yang menemui atau menyambutnya adalah pembantu – pambantu rumah atau Jaury sendiri. Amak yang bengal itu tanpa disuruh seolah- olah bertindak sebagai ajudan dan “penyaring” dan malahan kadang- kadang mengatakan bahwa ayahnya sedang tidur, atau juga sedikit “berbohong” dengan mengatakan bahwa ayahnya sedang pergi keluar apabila tamu itu tidak begitu dikenal.
Keaktifannya yang luar biasa dalam usianya yang relatif muda, mengkhawatirkan dan merepotkan ibunya juga. Karena itu dalam usia yang lebih muda dari yang diharuskan, Jaury sudah dimasukkan sekolah taman kanak- kanak di kota Makassar juga. Kemudian hari, elly jusuf menceritakan, betapa ia mempunyai firasat dan tanda tanya melihat anak kandungnya yang aktivitas dan kecerdasannya seperti jauh melampaui usia fisiknya.
Dengan disekolahkan, maka Jaury mempunyai tempat penyaluran keaktifannya dan mendapat teman- teman yang lebih luas lagi lingkungannya. Setelah TK, ia masih sempat masuk untuk beberapa bulan di Sekolah Rakyat (SR, sekarang disebut Sekolah Dasar) yang sekarang menjadi lokasi SD Nusantara.
Kemudian tiba hari yang menyedihkan itu.
Seperti biasa, setiap hari Jaury diantar atau dijemput oleh pembantu rumah tangga dengan kendaraan sepeda oleh pembantu rumah tangga dengan kendaraan sepeda. Pagi hari, ia di antar dan siang, selesai jam sekolah, sang pembantu yang setia sudah menunggu dihalaman sekolah. Itu sudah menjadi bagian dari rutinitas Jaury. “ Kalau jam pulang sudah hampir sampai, dia harus lihat yang menjemputnya barulah tenang,” ujar salah seorang temannya dahulu.
Suatu hari Jaury pulang seperti biasa, dan duduk di boncengan. Entah mengapa, salah satu kakinya masuk kejari-jari sepeda yang menyebabkan ia berdarah. Sampai dirumah Jaury dibawa ke rumah sakit untuk diobati. Karena obat-obatan di Makassar ( dan juga seperti banyak tempat lain ) amat langka, pengobatan terhadap luka kaki tidak bisa sempurna betul.
Apalagi sifat dari Jaury yang tidak bisa tenang memperbesar resiko luka itu menjadi lebih terbuka dan terkenan oleh kotoran.
Luka Jaury memang kemudian menjadi infeksi yang parah. Suhu badannya kemudian meninggi dan ia akhirnya meninggal. Jaury Jusuf Putera dimakamkan ditempat pemakaman umum ditepi jalan raya utama menuju bandar udara Hasanuddin.
Makam itu sederhana saja, tidak banyak beda dengan makam-makam lainnya. Hanya ada sedikit kenangan nyata atas eksistensi Jaury didunia selama beberapa tahun. Sebuah patung dalam skala yang sedikit yang lebih besar yang terletajk diruang paling terhormat di kompleks Rumah Sakit. Kemudian satu-satunya tulisan tangan asli Jaury mengenai namanya sendiri. Dan sebiah foto hitam putih berukuran salon gembira dari Jaury yang periang. Foto tersebut dipasang didinding rumah depan yang sederhana disudut jalan Sungai Tangka, Ujung Pandang. Saksi-saksi bisu lain adalah rumah yang tidak berubah sedikitpun sejak suami –Istri Jusuf mendiami rumah tersebut; dan perabotnya yang sederhana yang juga tidak berubah sejak awal tahun 1960 an sampai sekarang.
Dubawah ini penuturan dari dr. Ny. Elly Sjarufuddin, salah satu teman dekat almarhum Jaury sewaktu di TK dan SR. Kini, Elly Sjarufuddin menjadi salah satu staf RSA Jaury. Bahkan Elly kini sedang mengikuti pendidikan menjadi ahli Radiologi di rumah sakit yang memakai nama temannya itu.
Menurut saya Jaury anaknya sangat agresif, periang dan tidak pernah bisa diam. Ia kalau ke sekolah senang memakai sepatu laars...”
Dikatakan Elly, guru-guru mereka disekolah sangat “ Streng” hingga semua murid takut dengan dia, tapi menurutnya Jaury kadang - kadang justru kelihatan tidak takut dengannya “ kegalakan” guru itu. Tetapi ia paling tidak bisa kalau ada pelajaran prakarya. “ Kalau sudah itu, ia kelihatan bingung dan minta tolong teman – teman seperti saya atau anak perempuan lain.”
Juga kalau ada pembagian susu, seingat Elly, kalau susunya tidak ada gulanya maka ia sering membuang itu susu.
Satu hal yang ia ingat betul. Walaupun ia anak Panglima, ia tidak pernah menyombongkan diri, “Hanya kadang-kadang kalau diatas sekolah ada pesawat lewat, saya suka mengatakan, ‘Jaury, itu papamu datang. Minta oleh-olehnya...” Ia Cuma tertawa senang.
Ia memang cepat mendapat teman dan banyak punya teman sendiri dari macam-macam. Ada yang Indo, Cina dan juga orang kita.
“Disekolah Rakyat, seingat saya kami hanya beberapa bulan bersama. Tetapi setiap tahun setelah Jaury meninggal, kita ramai-ramai selalu datang di kuburannya. Atau tante Elly ( Jusuf ) datang kesekolah kami.”
Seingatnya lagi, ada perpustakaan sekolah yang dibangun dari hasil uang tabungan Jaury semasa hidupnya
Dibawah ini adalah penuturan AA Hukom, guru Taman Kanak – kanaknya :
Beberapa puluh tahun yang silam, kami diundang untuk menyaksikan peresmian Patung Jaury ( waktu itu oleh Menteri Kesehatan Prof.Dr. Siwabessy ). Kesan saya pertama, bukan, ini bukan bentuk kepala Jaury, kepalanya terlalu bulat dari belakang, itu saja yang salah.
Waktu Jauty masuk Taman Kanak – Kanak, ia berumur 4 tahun. Untuk usia itu, termasuk badannya besar, maklumlah Orangtuanya demikian.
Rambut lurus, gigi dua didepan atas tidak terlalu rapat. Kalau salah ingat, lesung pipitnya hampit dibawah matanya. Ia anak periang. Kalau masuk kelas sambil menyanyi untuk menyimpan “kopernya”nya ( tempat roti berbentuk koper waktu itu sedang in tetapi sekarang trendy lagi ) dengan langkah – langkah yang khas.
Walau tidak lihat, saya tahu dia masuk dari langkah – langkahnya.
Sehari-harinya Jaury kesekolah pakai sepatu laars. Bukan laars yang biasa dipakai anak-anak kalau musim hujan yang terbuat dari karet, bukan itu tetapi laars biasa. Kalau pakai itu. Langkah-langkahnya itu berbunyi berat, dari itu saya tahu kalau Jaury sudah ada.
Pada suatu pagi Jaury terkejut sekali melihat saya. Semalam rambut saya baru digunting, ternyata terlalu ( sangat terlalu ) pendek. Dengan nada kesal ia bertanya “ Juf baru cukur?” Saya jawab, “Tidak, Jaury.” “Baru Krol?” tanyanya lagi. Saya jawab “ Ya” Dengan muka kecewa ia balik badan untuk keluar kelas. Lalu saya tanya, “ Tidak bagus Jaury?” Ia kembali berdiri persis didepan saya dan berbisik:”Tidak, seperti kacong!”
Saudara saya berpendapat “ Dari mulut anak kita denagan kebenaran” ( uit de mond der kondreren hoort men de waarheid )
Ia sama sekali tidak bisa melipat atau menggunting. Kalau kawan-kawan sudah mulai mengumpulkan pekerjaannya. Musti dengar suara Jaury setengah menangis” “Tonneke, bikinkan Tinneke.” Parahnya, Tonneke ( teman Jaury) yang duduk disamping Jaury juga tidak punya bakat disitu.
Kalau saya sudah marah, saya selalu bilang “vooruit in de hoek” ( maklum waktu itu TK belum lama diindonesiakan ). Kalau anak yang ditegur itu mulai dengan langkah berat menuju sudut kelas, terdengar suara Jaury, “ In de hok, in de hok” ( “hoek” = sudut, sedangkan “hok”= Kandang ).
Ketika Jaury masuk TK, ayahnya belum Panglima. Mereka masih tinggal dirumah jalan Sungai Tangka di rumah sudut ( sampai sekarang ) dan rumah Panglima letaknya dijalan Jenderal Sudirman.
Waktu saya baca disurat kabar bahwa pak Jusuf diangkat menjadi Panglima, saya beri selamat kepada Jaury, Jaury bangga sekali. Mukanya berseri-seri
Kalau ia mau ganggu Tonneke, ia angkat alisnya tinggi – tinggi dan kedip – kedip matanya lalu senggol Tonneke dan berkata, “Tonneke, Tonneke!” Tonneke selalu lari kalau Jaury mulai begitu.
Jaury kawannya banyak. Suatu ketika ada kawannya katakan ( mungkin karena Jaury nakal ) “Kamu kira aku takut papamu Panglima.” Aduh, aduh.. saya tidak bisa lupa wajah Jaury waktu ia dengar perkataan kawannya itu . Ia tampak kecewa sekali dan tak dapat berbuat apa-apa kecuali hanya pegang tangannya Tonneke yang sama-sama tidak berani melawan kawannya itu.
Pernah ia kenal kata “sorry” dan esoknya disekolah ia mulai senggol kiri, senggol kanan. Kalau kawannya menjerit karena jengkel atau kesakitan, ia katakan “sorry” saya perhatikan agak lama lalu saya tegur, “Jaury!”
Ia menyahut, “Tapi saya sudah bilang sorry..”
Ia tampak lucu dengan sepeda kecilnya ( roda dua ) disebelah ibunya yang juga bersepeda. Anaknya begitu kecil dan ibunya besar. Waktu itu masih bisa ibu dan anak bersepeda tenang di jalan Sudirman Ratulangi
Ia suka sekali menyanyi. Kalau bermain di bak pasir ia kumpul dengan kawan-kawan dipinggir bak pasir itu dan mulai main band. Ia suka sekali menyanyi lagu “ Anak Ayam Turun Sepuluh” walaupun saya tidak pernah mengajar anak-anak lagu itu. Sampai sekarang saya tidak suka mendengar nyanyian itu. Entahlah terlalu sentimentilkah saya. Atau mungkin karena saya sudah lanjut usia.
Ini adalah kesan lain dari Juf mengenai Jaury :
Pada dinding perpustakaan SD Nusantara yang asli terpasang sebuah ubin bertuliskan :
Kuberikan untuk teman-teman sebaya Jaury
Disertai namanya pemberi.
Memang perpustakaan ini dibangun dengan sumbangan uang simpanan Jaury, menjelang pembukaannya pada tahun 1962, kami sibuk mencari-cari tulisan namanya. Semua kitabnya sudah dikembalikan ke rumah dan kami agak segan menggangu orang tuanya.
Teringat pada saya bahwa pernah saya menegurnya karena waktu mereka pertama kali mencoba tulis nama mereka secara bersambung, ia menulis pada buku kawan. Waktu kitab-kitab harus dikumpul ada dua yang bertuliskan “Jaury” sebelum saya selesai memarahi anak yang lain, kalau tidak salah Ade Noenoehitoe, Jaury berdiri didepanku senyum dengan pandangan trougwhartig ( polos ) nya, dan berkata, “ Saya tuliskan dia Juf, dia belum bisa”
Sewaktu gedung bekas Nederlandse Legere School disamping TK Nusantra masih ditempati SGTK Negeri dibawah pimpinan alm. Ny. Nanlohy, setiap senin pada upacara bendera serombongan bocah-bocah dari TK berdiri diatas pagar bambu pemisah dan ikut menyanyi dengan penuh semangat lagu “ Garuda Pancasila” rupa-rupanya lagu favorit Jaury karena lagu itu yang dinyanyikan dengan sungguh-sungguh dan suaranya kedengaran dengan nyaring
Sedikit saja pengalaman saya, tetapi tetap berkesan.
Sudah lebih dari 31 tahun sejak Jaury Jusuf Putera meninggal. Telah lewat waktu yang hampir sama pula Rumah Sakit Akademis Jaury Jusuf Putera telah mengabdi kepada masyarakat tanpa putus, tanpa henti sekalipun.
Jaury meninggal dunia pada usia yang terlalu muda untuk meninggalkan pesan – pesan pada orangtuanya. Tetapi langkah Jusuf dan Elly untuk mendirikan memorial hospital dengan menyandang nama Jaury tidak bisa lebih tepat lagi. Semangat, kepolosan, sayang pada teman, solidaritas tanpa pandang jenis; semua tercermin pada pengabdian Rumah Sakit Akademis Jaury Jusuf Putera tersebut – tanpa henti sampai sekarang.
Sebuah Kenangan